Senin, 08 April 2013

Landasan Hukum Penanganan Cyber Crime Di Indonesia

Ruang Lingkup Tindak Pidana cyber

Ada begitu banyak definisi cyber crime, baik menurut para ahli maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan. Definisi-definisi tersebut dapat dijadikan dasar pengaturan hukum pidana Cyber materil. Misalnya, SussanBrenner (2011) membagi cybercrimes menjadi tiga kategori:

“crimes in which the computer is the target of the criminal activity, crimes in which the computer is a tool used to commit the crime, and crimes in which the use of the computer is an incidental aspect of the commission of the crime.” {kejahatan di mana komputer target dari kegiatan kriminal, kejahatan di mana komputer adalah alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, dan kejahatan di mana penggunaan komputer merupakan aspek insidental dari kejahatan tersebut.}

Pengaturan Tindak Pidana Cyber Materil di Indonesia

Berdasarkan Instrumen PBB di atas, maka pengaturan tindak pidana Cyber di Indonesia juga dapat dilihat dalam arti luas dan arti sempit. Secara luas, tindak pidana siber ialah semua tindak pidana yang menggunakan sarana atau dengan bantuan Sistem Elektronik. Itu artinya semua tindak pidana konvensional dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) sepanjang dengan menggunakan bantuan atau sarana Sistem Elektronik seperti pembunuhan, perdagangan orang, dapat termasuk dalam kategori tindak pidana cyber dalam arti luas. Demikian juga tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana maupun tindak pidana perbankkan serta tindak pidana pencucian uang.

Akan tetapi, dalam pengertian yang lebih sempit, pengaturan tindak pidana Cyber diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Sama halnya seperti Convention on Cybercrimes, UU ITE juga tidak memberikan definisi mengenai cybercrimes, tetapi membaginya menjadi beberapa pengelompokkan yang mengacu padaConvention on Cybercrime (Sitompul, 2012):
 
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu:

   a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari:
      • kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);
      • perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
      • penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
      • pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
      • berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen(Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
      • menimbulkan rasa kebencian  (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
      • mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
         secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
   b. dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);
   c. intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU  ITE);

2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:

    a. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
    b. Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);

3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).

Pengaturan Tindak Pidana Cyber Formil di Indonesia

Selain mengatur tindak pidana siber materil, UU ITE mengatur tindak pidana siber formil, khususnya dalam bidang penyidikan. Pasal 42 UU ITE mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ITE dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan ketentuan dalam UU ITE. Artinya, ketentuan penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU ITE. Kekhususan UU ITE dalam penyidikan antara lain:

- Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari instansi Kepolisian Negara RI atau Kementerian Komunikasi dan Informatika;
- Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data;
- Penggeledahan dan atan penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat;
- Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan Sistem Elektronik, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.

Ketentuan penyidikan dalam UU ITE berlaku pula terhadap penyidikan tindak pidana Cyber dalam arti luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana perpajakan, sebelum dilakukan penggeledahan atau penyitaan terhadap server bank, penyidik harus memperhatikan kelancaran layanan publik, dan menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum sebagaimana diatur dalam UU ITE. Apabila dengan mematikan server bank akan mengganggu pelayanan publik, tindakan tersebuttidak boleh dilakukan.

Selain UU ITE, peraturan yang landasan dalam penanganan kasus cyber crime di Indonesia ialah peraturan pelaksana UU ITE dan juga peraturan teknis dalam penyidikan di masing-masing instansi penyidik.
Semoga membantu.

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar