Ruang Lingkup Tindak Pidana cyber
Ada begitu banyak definisi cyber crime, baik menurut para ahli maupun
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Definisi-definisi tersebut
dapat dijadikan dasar pengaturan hukum pidana Cyber materil. Misalnya,
SussanBrenner (2011) membagi cybercrimes menjadi tiga kategori:
“crimes in which the computer is the target of the criminal activity,
crimes in which the computer is a tool used to commit the crime, and
crimes in which the use of the computer is an incidental aspect of the
commission of the crime.” {kejahatan di mana komputer target dari kegiatan
kriminal, kejahatan di mana komputer adalah alat yang digunakan untuk melakukan
kejahatan, dan kejahatan di mana penggunaan komputer merupakan aspek insidental
dari kejahatan tersebut.}
Pengaturan Tindak Pidana Cyber Materil di Indonesia
Berdasarkan Instrumen PBB di atas, maka pengaturan tindak pidana Cyber
di Indonesia juga dapat dilihat dalam arti luas dan arti sempit. Secara
luas, tindak pidana siber ialah semua tindak pidana yang menggunakan
sarana atau dengan bantuan Sistem Elektronik. Itu artinya semua tindak
pidana konvensional dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
sepanjang dengan menggunakan bantuan atau sarana Sistem Elektronik
seperti pembunuhan, perdagangan orang, dapat termasuk dalam kategori
tindak pidana cyber dalam arti luas. Demikian juga tindak pidana dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana maupun tindak
pidana perbankkan serta tindak pidana pencucian uang.
Akan tetapi, dalam pengertian yang lebih sempit, pengaturan tindak
pidana Cyber diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Sama halnya seperti
Convention on Cybercrimes, UU ITE juga tidak memberikan definisi
mengenai cybercrimes, tetapi membaginya menjadi beberapa pengelompokkan
yang mengacu padaConvention on Cybercrime (Sitompul, 2012):
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu:
a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari:
• kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);
• perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
• penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
• pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
• berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen(Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
• menimbulkan rasa kebencian (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
• mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b. dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);
c. intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);
2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
b. Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
Pengaturan Tindak Pidana Cyber Formil di Indonesia
Selain mengatur tindak pidana siber materil, UU ITE mengatur tindak
pidana siber formil, khususnya dalam bidang penyidikan. Pasal 42 UU ITE
mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ITE dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (“KUHAP”) dan ketentuan dalam UU ITE. Artinya, ketentuan
penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam
UU ITE. Kekhususan UU ITE dalam penyidikan antara lain:
- Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari instansi
Kepolisian Negara RI atau Kementerian Komunikasi dan Informatika;
- Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap
privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau
keutuhan data;
- Penggeledahan dan atan penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang
terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua
pengadilan negeri setempat;
- Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan Sistem Elektronik,
penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
Ketentuan penyidikan dalam UU ITE berlaku pula terhadap penyidikan
tindak pidana Cyber dalam arti luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana
perpajakan, sebelum dilakukan penggeledahan atau penyitaan terhadap
server bank, penyidik harus memperhatikan kelancaran layanan publik, dan
menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum sebagaimana diatur
dalam UU ITE. Apabila dengan mematikan server bank akan mengganggu
pelayanan publik, tindakan tersebuttidak boleh dilakukan.
Selain UU ITE, peraturan yang landasan dalam penanganan kasus cyber
crime di Indonesia ialah peraturan pelaksana UU ITE dan juga peraturan
teknis dalam penyidikan di masing-masing instansi penyidik.
Semoga membantu.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar